Aku berdiri dalam kesunyian, aman
diselimuti kegelapan malam, menatap nanar kebahagiaan yang jelas terpancar dari
balik jendelamu. Di sana, kau tampak gembira bersantap malam bersama Anis dan
suaminya. Ada seorang anak lelaki yang duduk di sampingmu. Adikmu?
Hatiku sakit memikirkanmu. Aku
menyesal. Sungguh, aku menyesal tentang apa yang telah kulalukan terhadapmu dan
Anis. Aku tahu aku seharusnya tidak berbuat begitu. Aku tahu aku salah.
Tapi tak akan pernah bisa
kuungkapkan rasa maafku kepadamu, atau Anis. Tidak kemarin, tidak hari ini,
tidak besok. Tidak selamanya.
Tak ada cukup kata atau bahasa di
dunia yang akan mampu mengutarakan penyesalan ini dengan sempurna, dan kurasa
kau dan Anis pantas mendapatkan yang lebih dari aku.
Aku tahu kau tak mengenalku, tapi
aku mengenalmu. Aku sangat mengenalmu.
Anis tak mengizinkanku, tapi
begitu aku tahu rupamu, aku selalu berada di dekatmu, setiap saat, setiap
waktu. Kau tak pernah menyadari keberadaanku karena kau tak mengenalku. Aku tersenyum
melihatmu bermain lompat tali dengan teman-temanmu ketika kau duduk di Sekolah
Dasar. Aku terharu melihatmu mengibarkan bendera merah putih dengan anggota
Paskibra di SMP-mu. Aku bangga luar biasa melihatmu lulus dari SMU.
Tak sekalipun kau mengenalku. Tak
sekalipun Anis tahu.
Di dunia kalian, tidak ada aku.
Tidak lagi. Tidak pernah.
Tapi di duniaku, hanya ada dirimu.
Hanya dirimu.
Aku masih ingat saat aku melihatmu
menangis di pelukan Anis 15 tahun lalu.
“Kamu ngapain di sini!?” bentak
Anis membuat hatiku pilu. Raut wajahnya berteriak jelas dia membenciku.
“Dia anakku,” bisikku.
“Masa bodo!” bentak Anis lagi. Kau
menangis semakin keras. Aku dan Anis masih berdiri di ambang pintu rumahnya,
menahan air mata. “Buat apa kamu ada di sini? Kamu yang tinggalin aku sama dia
begitu dia lahir dua taun lalu! Kamu nggak ada hak untuk nyebut dia anak Kamu!”
“Tapi dia anakku juga, Nis,” aku
memohon.
Yang kudapat hanyalah pintu yang
ditutup terlalu keras dan isakan yang terlalu menyayat hati.
Maafkan aku, Krista.
Aku tidak meminta kau mengakuiku
sebagai ayahmu. Aku tidak meminta kau membalas pandanganku. Aku tidak memintamu
mengampuniku.
Yang aku minta hanyalah agar kau
bahagia, seluruh hidupmu.
Dan jika aku hanyalah seseorang
yang akan menganggu kedamaianmu, maka aku akan pergi. Jauh darimu. Aku berjanji
kau tak akan pernah harus melihatku.
Aku mencoba tersenyum, membisikkan
perpisahan yang tak pernah terdengar, olehmu ataupun oleh Anis. Aku berbalik
badan, kemudian mulai melangkah.
Yang dapat kulakukan sekarang
hanyalah belajar bernapas tanpamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar