Rabu, 25 September 2013

Sesal dan Malam


Aku berdiri dalam kesunyian, aman diselimuti kegelapan malam, menatap nanar kebahagiaan yang jelas terpancar dari balik jendelamu. Di sana, kau tampak gembira bersantap malam bersama Anis dan suaminya. Ada seorang anak lelaki yang duduk di sampingmu. Adikmu?
Hatiku sakit memikirkanmu. Aku menyesal. Sungguh, aku menyesal tentang apa yang telah kulalukan terhadapmu dan Anis. Aku tahu aku seharusnya tidak berbuat begitu. Aku tahu aku salah.
Tapi tak akan pernah bisa kuungkapkan rasa maafku kepadamu, atau Anis. Tidak kemarin, tidak hari ini, tidak besok. Tidak selamanya.
Tak ada cukup kata atau bahasa di dunia yang akan mampu mengutarakan penyesalan ini dengan sempurna, dan kurasa kau dan Anis pantas mendapatkan yang lebih dari aku.

Aku tahu kau tak mengenalku, tapi aku mengenalmu. Aku sangat mengenalmu.
Anis tak mengizinkanku, tapi begitu aku tahu rupamu, aku selalu berada di dekatmu, setiap saat, setiap waktu. Kau tak pernah menyadari keberadaanku karena kau tak mengenalku. Aku tersenyum melihatmu bermain lompat tali dengan teman-temanmu ketika kau duduk di Sekolah Dasar. Aku terharu melihatmu mengibarkan bendera merah putih dengan anggota Paskibra di SMP-mu. Aku bangga luar biasa melihatmu lulus dari SMU.
Tak sekalipun kau mengenalku. Tak sekalipun Anis tahu.

Di dunia kalian, tidak ada aku. Tidak lagi. Tidak pernah.
Tapi di duniaku, hanya ada dirimu. Hanya dirimu.

Aku masih ingat saat aku melihatmu menangis di pelukan Anis 15 tahun lalu.
“Kamu ngapain di sini!?” bentak Anis membuat hatiku pilu. Raut wajahnya berteriak jelas dia membenciku.
“Dia anakku,” bisikku.
“Masa bodo!” bentak Anis lagi. Kau menangis semakin keras. Aku dan Anis masih berdiri di ambang pintu rumahnya, menahan air mata. “Buat apa kamu ada di sini? Kamu yang tinggalin aku sama dia begitu dia lahir dua taun lalu! Kamu nggak ada hak untuk nyebut dia anak Kamu!”
“Tapi dia anakku juga, Nis,” aku memohon.
Yang kudapat hanyalah pintu yang ditutup terlalu keras dan isakan yang terlalu menyayat hati.

Maafkan aku, Krista.
Aku tidak meminta kau mengakuiku sebagai ayahmu. Aku tidak meminta kau membalas pandanganku. Aku tidak memintamu mengampuniku.
Yang aku minta hanyalah agar kau bahagia, seluruh hidupmu.
Dan jika aku hanyalah seseorang yang akan menganggu kedamaianmu, maka aku akan pergi. Jauh darimu. Aku berjanji kau tak akan pernah harus melihatku.

Aku mencoba tersenyum, membisikkan perpisahan yang tak pernah terdengar, olehmu ataupun oleh Anis. Aku berbalik badan, kemudian mulai melangkah.
Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah belajar bernapas tanpamu.

Tidak ada komentar: