Minggu, 11 Juni 2017

Melindungi Mara, dan Hal-Hal Tidak Mungkin Lainnya (30 Hari Menulis #11)



Mara mempercepat langkahnya. Ini gawat.

Kami sedang berada di wilayah yang tidak kami kenali, dan matahari sudah lama berpulang ke peraduannya. Aku dan kakakku, Aadi, sudah mati-matian membujuk Mara, orang yang harus kami jaga, untuk mencari tempat yang aman. Bukan hanya dia yang membutuhkan istirahat--kami juga. Apalagi, sekarang ini kami belum berhasil mengontak siapa pun di istana, sejak kami kembali dari Bumi. Sama sekali tidak ada siapa pun yang mengetahui posisi kami saat ini. Jika Baug, musuh kami, menjadi orang pertama yang menemukan kami... Entah berapa banyak goblin yang akan dia kirim untuk menghabisi kami.

"Kalian pikir aku makhluk lemah, yang harus kalian jaga? Hanya karena aku perempuan, dan kalian laki-laki. Iya kan?" pekiknya, persis tiga menit yang lalu ketika kami lagi-lagi gagal membuatnya mengerti kacaunya situasi kami saat ini. Aku mengangkat bahu dan Aadi menghela napas berat. Kata-kata "coba ingat-ingat, siapa yang baru saja kami selamatkan dari sebuah rumah sakit jantung di dunianya?" tidak jadi aku lontarkan.

Kami masih berjalan mengikuti Mara, dengan Aadi sesekali mencoba membujuk Mara. "Membujuk" bukan kata yang tepat. Biasanya "percakapan" yang terjadi hanya seputar ini:

Aadi: Mara, sudah-
Mara: Tidak!
Aadi: Kamu bahkan tidak tahu-
Mara: Aku tidak perlu tahu!

"GAAAH!" adalah apa yang keluar dari mulut Aadi kemudian, dengan kedua tangan yang terkepal dan diangkatnya ke atas, tinggi-tinggi.

Aku menahan tawa. Harus kuakui, kukira orang yang akan kami selamatkan adalah sesosok perempuan yang rapuh dan lembut. Bagaimana tidak, hanya beberapa hari yang lalu kami menculiknya dari sebuah rumah sakit, mengeluarkan jantungnya, dan memasukkan jantung putri kami ke tubuhnya (ceritanya panjang, kita tidak punya cukup waktu untuk itu). Tapi perempuan yang sedang berjalan di depan kami ini jauh dari kata rapuh--kadang, aku rasa dia punya lebih banyak keberanian daripada diriku sendiri. Sedikit demi sedikit, aku mendapati diriku mengembangkan rasa kagum terhadap dirinya.

Aadi kembali mencoba untuk membujuk Mara, kali ini dengan meraih tangannya--tindakan yang salah. Mara meronta, berteriak, dan mereka akhirnya benar-benar berseteru sekarang. Mataku membelalak atas kejadian di depanku, kemudian segera berlari menuju mereka, menghentikan kekonyolan ini.

"Cukup!" bisikku setengah berteriak, "Jangan berisik!"

"Kamu yang jangan berisik!" sentak Mara segera. "Atau kamu mau menjelaskan sekarang juga kenapa kalian menculik aku dan membawaku ke tempat ini?"

"Sekarang bukan waktunya untuk itu..."

"Archan benar, Mara..."

"Diam, diam! Aku sudah bosan mendengar cerita tentang putri kalian, jantungnya... Kembalikan aku ke dunia di mana sihir hanya ada di novel-novel Harry Potter!"

Saat itulah, aku melihatnya. Sekilas cahaya merah dan hijau berkelebat di sisi kananku, di belakang Mara. Aku membeku. "Mara."

Mara masih mengoceh tentang sekolah, ujian, dan sesuatu bernama kuliah.

Aku meraih mukanya. "MARA."

Akhirnya, dia terdiam. Matanya melihat ke kiri dan kanan, mempelajari keadaan kami saat ini: terkepung. Dalam sekejap saja, ada sekitar delapan goblin yang berdiri mengelilingi kami.

Goblin yang berada paling dekat dengan Aadi mencoba menyerang duluan, tapi berhasil Aadi hindari. Hal itu justru memacu goblin-goblin yang lain untuk memulai penyerangan terhadap kami. Aku dan Aadi mati-matian mempertahankan posisi dengan Mara di antara kami agar dirinya tidak terluka. Hanya saja, dengan beberapa minggu berada di Bumi untuk mencari dan menyelamatkan Mara sudah menghabiskan kebanyakan energi magis kami.

Beberapa goblin terkapar di atas rumput--entah empat atau lima--entah bagaimana kami masih berhasil mengerahkan seluruh sisa kekuatan kami. Hanya saja, magi kami hampir habis, begitu pun dengan energi fisik kami. Napas kami terengah-engah. Aku tidak tahu bagaimana kondisi Aadi, karena aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas--kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Ini gawat, jelas gawat. Di mana Mara?

Teriakannya di sebelah kiriku membuat mataku kembali awas, dan menemukannya sedang berusaha menendang dan memukul dua goblin yang berusaha melemahkannya. Aku berlari ke arahnya, tapi seorang goblin menyerangku dari belakang, dan aku terjatuh ke depan. Seraya berusaha berdiri, aku melihat ke arah Mara--Aadi sedang berlari ke arahnya. Dan itulah saat hal itu terjadi.

Entah dari mana, hutan yang gelap dan lembab itu berubah menjadi sangat terang seketika, dan hangat. Untuk beberapa saat, aku tidak bisa melihat hal lain, atau menggunakan inderaku yang lain. Yang bisa aku rasakan hanyalah nostalgia--aku pernah bertemu magi jenis ini sekali. Betapa aku merindukannya.

Detik-detik berlalu, dan perlahan-lahan semua inderaku kembali. Aku mengedipkan mata berkali-kali, mencoba untuk memperjelas pandanganku. Yang kudapatkan adalah para goblin yang tersungkur tak berdaya di atas rumput, dan Mara yang membenamkan kepalanya di dada Aadi. Aku dapat mendengarkan isaknya.

Aku hanya berdiri, diam di tempat, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku yakin pasti berat baginya, mendapati dua orang yang berpenampilan sedikit berbeda dengan manusia pada umumnya menculiknya dari rumah sakit tempatnya menunggu kematian, untuk kemudian diceritakan kisah tentang seorang putri yang sudah mati dan jantungnya yang masih berdetak. Apalagi ketika dia mendengar bahwa sekarang dirinyalah penjaga jantung sang putri.

Ingin rasanya kuselimuti dirinya dengan pelukan, dan bisikan bahwa ini semua tidak apa-apa, kami semua akan baik-baik saja. Tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat dan mungkin aku bukan orang yang tepat pula.

Tidak ada komentar: