Selasa, 24 Maret 2009

Hijau

"Aku mau selalu jaga kamu."
Apa?
"Aku bakal selalu jaga kamu."

Tepat setahun lalu aku mendengar janjimu itu padaku. Tepat setahun lalu aku mendengar janji itu di sini, di permukaan danau ini. Tepat setahun lalu, bulan juga menyinari danau ini. Tapi, berbeda. Tahun ini, bulan tidak bersinar seterang tahun lalu. Kali ini, sinarnya redup. Kali ini, sinarnya tak bercahaya. Kali ini, sinarnya remang. Kali ini, sinarnya tak ada.
Aku baru tahu bulan bisa berduka. Bulan pasti mengerti perasaan aku.
Tahukah kamu, bahwa janji harus selalu ditepati? Maka itu kita tidak boleh sembarangan bicara. Tidak boleh sembarangan berjanji. Karena jika janji tidak ditepati, kita akan merasa sakit. Aku akan merasa sakit. Aku merasa sakit. Tahukah kamu, bahwa janji harus selalu ditepati? Aku percaya janji harus selalu ditepati. Aku tidak mau percaya rasa sakit. Tapi sekarang, mau tidak mau aku tahu rasa sakit itu ada. Karena kamu, aku jadi tahu rasa sakit.
Aku baru tahu cinta bisa sebegini menyakitkannya.
Tahukah kamu, aku pernah menyesal mencintaimu? Aku menyesal mencintaimu.

Aku sering melihatmu mengendap-endap di belakang taman bungaku. Mengikuti langkahku kemanapun aku pergi. Sampai akhirnya aku memergokimu sedang tenggelam dalam lamunan. Tanpa sengaja, selang air yang kupegang memancarkan airnya terlalu jauh—menuju kamu. Mukamu lucu sekali saat itu, jadi aku tertawa. Tawa yang sudah terlalu lama aku pendam. Tawa yang sudah terlalu lama tidak kutemui. Untungnya kamu tidak marah. Kamu hanya nyengir, kemudian memberikan komentar tentang taman bungaku.
“Indah,” katamu. “Indah sepertimu.”
Aku tidak terbiasa dengan rayuan.
“Mukamu merah.”
Aku tahu. Berhenti menyiksaku.
“Kamu jadi manis sekali.”
Siksaan ini cukup menyenangkan. Sangat menyenangkan. Ucapkan lagi.
Tapi kamu tidak mengucapkannya lagi. “ROAN!” Seseorang berseru dari balik pohon cemara. Seorang pria yang bertubuh sangat besar. Seorang pria yang agak mirip denganmu—tapi tidak memiliki sesuatu yang kaumiliki di matamu. Seorang pria yang kamu takuti. Kamu tidak hormat padanya. Hanya takut.
Kamu pergi bersamanya. Meninggalkan aku yang kembali sendiri di taman bungaku. Aku tahu aku tidak benar-benar sendiri—bunga-bunga, semut-semut, kumbang-kumbang, pohon-pohon juga angin masih ada di sana bersamaku.
Tapi dengan perginya kamu, tiba-tiba aku benci merasa sendirian.

Saat itu aku mengira kamu akan pergi selamanya dan tidak pernah peduli lagi padaku, tapi ternyata aku salah. Aku senang aku salah. Kamu terus datang besoknya, dan besoknya, dan besoknya, sampai di hari di mana kamu memegang tanganku dan menghentikan aliran air dari selangku.
Kenapa? Aku bingung. Bungaku tak bisa tumbuh tanpa ini. Bungaku tak bisa hidup tanpa ini. Jangan hentikan napas teman-temanku.
“Aku butuh waktu untuk bicara denganmu.”
Kau bisa bicara padaku kapan saja. Kembalikan selangku.
“Sebentar saja.”
Aku tidak menggeleng dan meminta selangku kembali. Maafkan aku bunga-bunga, tapi aku bisa menyiram kalian lagi nanti. Maka aku mengangguk, dan duduk bersama kamu di atas rumput yang hijau di taman bungaku. Mukamu tertekuk gelap. Aku bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
“Aku harus pergi.”
Pergi? Aku tidak yakin aku masih mau tahu arti kata yang menyebalkan itu.
“Aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi—kamu tahu ada perang di pinggir negeri. Semua orang harus membantu di sana—maksudku, semua orang yang sepertiku. Kamu tahu, aku dan kamu berbeda. Aku tidak memiliki orangtua. Aku tidak dibesarkan di dalam rumah seperti rumahmu. Aku dibesarkan di rumah yang mendidik anak-anak jalanan untuk menjadi petarung—pembela negeri.”
Aku tidak mau dengar ini, Roan. Aku harus menyiram bunga-bungaku. Aku harus memberikan mereka kehidupan.
Aku harus menghentikan sesuatu yang mencekik hatiku.
“Aku tahu aku dan kamu tidak bisa bersama-sama selamanya. Aku tahu itu dari awal. Tapi aku begitu bodoh sampai aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk sekali-kali berkunjung ke sini, melihatmu tersenyum menyiram bunga-bungamu di sini. Tapi akhirnya aku datang setiap hari. Akhirnya aku tidak bisa tidak datang ke sini. Akhirnya aku tidak bisa tidak bertemu dengan kamu.”
Aku harus menyiram bunga-bungaku, Roan—tidak bisakah kamu mendengar? Mereka menjerit.
“Aku sangat suka kamu. Ah, tidak. Aku tahu ini sudah lebih dari sekedar rasa tertarik. Aku bukan pujangga gombal nomor satu di sini, tapi aku tahu aku tidak bisa jauh dari kamu. Aku tahu aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku tidak bisa kehilangan kamu.”
Bukan bunga-bungaku yang menjerit. Aku yakin ada sesuatu yang menjerit. Roan, apa itu? Siapa yang menjerit? Sepertinya terluka sangat dalam.
“Tapi aku tidak bisa tidak pergi. Aku telah bersumpah akan melakukan tugasku demi negeri. Aku—aku sudah memutuskan. Aku akan pergi membantu menyudahi perang.”
Aku tahu siapa yang menjerit, Roan. Hatiku. Rasanya perih sekali. Aku tidak suka ini, Roan. Perihnya naik ke mataku. Aku benci menangis. Tolong aku, Roan.
Kamu meraih tanganku lagi, menggenggamnya erat seakan kamu bisa mati kalau melepaskan tanganku. Kamu mengusap pipiku, menghapus air mataku. Tapi tidak berguna. Itu sia-sia. Pipiku terus basah karena air mataku tidak berhenti mengalir.
“Aku tahu aku salah.”
Aku juga tahu kamu salah.
“Maafkan aku.”
Aku ingin memaafkanmu.
Aku akan memaafkanmu seandainya kamu bisa membuatku berhenti menangis. Aku akan memaafkanmu seandainya kamu bisa menghentikan jeritan hatiku.
Tapi kamu tidak bisa. Dan sore itu berakhir, berganti malam.

Aku seharusnya sedang berada di tengah-tengah dunia lain. Sebuah dunia yang tercipta di kala kedua mataku terpejam. Dunia fana yang terkadang membuatku tidak pernah mau pergi meninggalkannya. Tapi terkadang, membuatku ingin cepat-cepat angkat kaki dari sana.
Aku tidak melihat mimpi. Aku tidak tertidur.
Mataku masih terbuka, dan aku kelelahan. Aku lelah menangis, tapi hatiku tidak bisa berhenti. Air mataku berhenti mengalir, tapi perihnya semakin terasa. Seperti lukanya bertambah dalam di tiap tarikan napasku.
Tidak pernah di tiap malamku aku merasa seperti ini. Begitu… tidak berdaya.
TUK.
Aku mendengar jendelaku bersuara. Apa aku sudah gila?
TUK.
Aku bangkit. Di luar jendela, semuanya tampak gelap. Hitam. Seperti tidak ada warna lain. Seperti mati. Seperti hatiku.
TUK.
Aku melihat sesuatu yang melompat. Kecil. Sesuatu yang melompat, mengenai jendela, kemudian jatuh. Tak lama, sesuatu seperti itu datang lagi. Melompat, mengenai jendela, terjatuh. Aku berjalan ke depan jendela.
Tiba-tiba dunia tidak lagi hitam. Di luar jendela, kamu berdiri, dengan banyak kerikil terkurung di tangan kirimu. Aku bisa melihat kamu tersenyum. Senyum itu bukan bohong—matamu, aku tahu mata itu. Mata Roan yang selalu bercahaya seperti mata anak kecil yang masih polos.
“Keluarlah,” bisikmu.
Maka aku membuka jendela dan memanjat keluar. Kamu menangkapku dan memelukku erat seperti sudah lama berpisah dariku. Kupikir, memang sudah. Kamu meninggalkanku dengan hati yang luka sore itu. Aku membalas pelukanmu.
Pelukan kita berakhir, dan mataku terperangkap dalam pandanganmu yang sarat dengan sesuatu yang terluka. Seperti membawa beban yang berat—lebih berat dari dunia. Kamu mengenggam tanganku dan berkata, “Ikuti aku.”
Maka aku berjalan mengikuti langkahmu keluar halaman rumahku. Kita mencapai taman bungaku, tapi langkahmu tidak juga berhenti. Sejujurnya aku agak takut. Aku tidak pernah berjalan lebih dari ini. Aku tidak pernah keluar batasan yang ditentukan orangtuaku. Aku tidak pernah meninggalkan rumah. Tapi sejujurnya, di dalam ketakutan ini, aku menemukan sebuah kesenangan. Fakta bahwa kamu menggenggam erat tanganku, misalnya. Seperti berkata bahwa kamu tidak akan meninggalkan aku sendirian seperti tadi sore.
Kita berjalan lama sekali, jauh memasuki hutan. Kita sama sekali tidak berbicara. Lama-lama aku merasa tidak nyaman, tapi saat akhirnya langkahmu berhenti juga, aku terpesona. Tak pernah dalam hidupku aku menemukan sebuah tempat yang bisa memikatku lebih dari taman bungaku.
Kamu membawaku ke sebuah tempat yang magis. Di antara pohon-pohon yang tumbuh tinggi, sebuah danau yang besar dan hijau terbaring tepat di bawah sinar bulan yang bulat sempurna. Hanya itu, dan seketika aku terjebak dalam kefanaan. Aku tidak ingin beranjak dari tempat ini.
“Indah, kan?”
Tidak. Tempat ini lebih dari indah.
“Aku selalu pergi ke sini ketika sesuatu menggangguku. Tempat ini adalah tempat rahasiaku. Hanya kamu yang tahu tempat ini.”
Aku tersenyum.
Kamu tersenyum. “Di sini, aku selalu melakukan ini.” Kamu berjalan menuju kehijauan itu, pelan-pelan melepaskan tanganku. Aku ragu, tapi akhirnya kulepaskan tanganmu. Kamu berjalan menuju kehijauan itu, kemudian terus masuk ke dalamnya. Kamu berhenti ketika airnya bisa mencapai pinggangmu. Kamu berbalik dan tersenyum kepadaku. “Kemarilah,” katamu, “kemudian kamu akan tahu apa yang membuatku mencintai tempat ini.”
Mengetahui ada sesuatu yang kamu cintai selain aku agak membuatku mati rasa, tapi aku sadar tidak ada orang yang tidak bisa tidak mencintai tempat ini setelah melihatnya. Hijau itu—danau itu—terlihat begitu sempurna. Aku tahu tempat ini tempat yang magis dari awal.
Aku berjalan sedikit-sedikit menuju kamu, kemudian masuk ke dalam danau ragu-ragu. Tapi kamu ada di sana, dan kamu akan selalu menjadi tujuan aku. Jadi aku memantapkan diri dan membiarkan gaun malamku basah. Ketika aku bisa mencapaimu, tinggi air hijau itu sudah menyentuh perutku.
Kamu membelai rambut panjangku dengan lembut, kemudian menuntunku berjalan lebih dalam. Kamu menuntunku berjalan menuju pantulan sinar bulan di tengah-tengah danau. Ketika kita sampai di sana, tinggi air mencapai perutmu dan dadaku. Ketika kita sampai di sana, aku tidak merasa sesak. Ketika kita sampai di sana, aku tidak bisa merasakan apa-apa.
Aku tidak bisa merasakan apa-apa kecuali rasa bahagia. Karena kamu ada di sini bersamaku. Karena kamu selalu ada di hari-hariku. Karena kamu selalu mengisi kekosonganku. Karena kamu menjadi bagian dari aku. Karena kamu mencintai aku. Karena aku mencintai kamu. Karena cinta telah tumbuh di tengah-tengah kita, sesuatu yang hebat yang bisa membuat aku melupakan dunia. Aku membutuhkan kamu, dan hanya kamu. Itu saja sudah cukup untukku bertahan hidup. Kamu saja sudah cukup untuk membuat aku bernapas setiap saat.
Kita berpelukan di bawah sinar bulan di tengah danau itu, dan rasanya aku tidak mau melanjutkan hidup. Aku mau kita begini selamanya, terjebak dalam waktu yang berhenti mengalir. Karena saat ini aku memilikimu, dan kamu memiliki aku. Karena saat ini dunia begitu sempurna.
Tapi akhirnya kamu melepaskan pelukanmu dan mengenggam tanganku. Mengecup satu-satu, kemudian bulir air matamu mulai menetes turun. Aku tidak mengerti. Mengapa kamu menangis? Momen ini adalah sesuatu yang disebut kesempurnaan, dan ini belum juga cukup untuk membuatmu tertawa kembali?
“Aku mau selalu jaga kamu.”
Apa?
“Aku bakal selalu jaga kamu.”
Apa yang kamu bicarakan? Aku tahu kamu akan selalu menjaga aku.
“Meskipun kita jauh, kamu harus tahu aku tetap ada di sisi kamu. Kamu bisa selalu menghubungi aku. Tulislah surat. Tulislah surat yang banyak. Kita tidak akan berpisah selama itu.”
Apa yang kamu bicarakan? Kamu tidak akan pergi ke mana-mana. Kita tidak akan pergi ke mana-mana. Kita tidak akan meninggalkan tempat ini ataupun meninggalkan cinta ini. Tidak ada satupun yang akan pergi. Kita akan diam di sini selamanya.
Kamu terus menangis. “Aku benci menunjukkan air mata ini ke hadapanmu, tapi aku rasa kamu harus tahu apa yang aku rasakan sekarang.”
Apa yang kamu rasakan?
“Aku tidak boleh bimbang padahal aku tidak punya pilihan,” katamu. “Aku tidak boleh tidak pergi padahal aku tidak bisa meninggalkan kamu.”
Kamu tidak akan meninggalkan aku.
“Tapi sekarang aku lega aku telah membawamu ke tempat ini—karena tempat ini adalah tempatku. Rumahku. Sanctuary¬-ku. Aku lega aku pernah membawamu ke sini karena aku ingin kamu mengetahui tempat ini. Aku senang. Aku senang sekali.”
Aku tidak bisa mengerti. Aku tidak pernah melihat air mata dan mendengar kata ‘senang’ dalam waktu yang bersamaan. Tidak, ini tidak bisa terjadi.
“Kamu harus menunggu aku. Aku akan kembali.”
Kamu tidak akan pergi.
Kamu memandang mataku lagi. Tapi kemudian pandanganmu pergi. “Aku akan kembali.”
Tiba-tiba danau hijau ini tidak lagi terlihat sempurna.

Gira datang menghampiri aku yang sedang duduk termenung di tengah taman bunga. Tapi tempat itu tidak lagi bisa dikatakan taman bunga. Sudah tidak ada bunga yang hidup di sana. “Nona Muda,” panggil Gira.
Aku mendongak dan mendapati Gira tengah berjalan menuju aku dengan selembar kertas putih di tangannya. Secercah harapan tumbuh di hatiku. Suratmu? Akhirnya setelah lama sekali kamu pergi—hampir setahun—surat balasanmu sampai pula padaku. Apa kabarmu? Sehatkah? Kapan kamu kembali? Kenapa kamu tidak pernah membalas surat-suratku? Tidak tahukah kamu, aku merindukanmu? Sangat merindukanmu? Aku ingin tahu.
Gira menyerahkan kertas itu kepadaku dan aku terdiam.
Dalam secarik kertas putih yang terlihat suci itu, tertulis, “Telah meninggal, Roan, dalam perang ketika membantu negeri. Pengorbanannya akan selalu terkenang di hati kami.”

Aku masih berada di sini. Di tempat kamu. Di rumah kamu. Di sanctuary kamu. Sempat aku berpikir tempat ini sempurna. Tapi sekarang tempat ini menjadi tempat yang buruk. Karena tempat ini mengingatkanku bahwa kamu telah pergi.
Tempat ini mengingatkanku bahwa kamu mengingkari janjimu.
Aku menyesal mencintaimu, Roan. Aku menyesal mencintai kamu. Aku menyesal percaya kamu. Aku menyesal bertemu kamu. Aku menyesal mencintai kamu. Aku menyesal mencintai kamu, Roan, aku benar-benar menyesal mencintai kamu.
Aku berjalan perlahan ke tengah-tengah danau yang kali ini tanpa sinar bulan, dan untuk pertama kalinya, aku berteriak dalam tangisku. Aku meneriakkan namamu. Ini pertama kalinya aku mendengar suaraku, dan aku tidak suka itu. Dalam suaraku terlalu banyak mengandung kamu—dan cinta yang tak pernah berhenti mengalir untuk kamu.
Roanku. Pembohongku. Aku cinta kamu.
Sekarang aku sama denganmu.
Aku tidak pernah menyesal mencintai kamu.
Karena itu, di sini, saat ini, aku akan pergi ke tempatmu.
Akan kita ciptakan tempat kita, rumah kita, sanctuary kita berdua yang baru di alam sana.
Tunggu aku.
Yura.

Tidak ada komentar: