Senin, 09 Maret 2009

Hikaru dan Makhluk Bermata Gila

Hikaru, Yabu, dan mama-mama mereka bukan punya Gita.
*Tapi semoga aja kapan-kapan Hikaru jadi punya Gita... amin. Hahaha.

“Hikaru!”

Hikaru mendengar jelas panggilan itu, jadi buru-buru diletakkannya gitar dengan hati-hati di sudutnya, kemudian berlari keluar kamar, menuruni tangga, menuju sumber suara: dapur. “Ya, Bu?”

Pemandangan pertama yang terlihat adalah punggung Ibu yang selama ini membesarkannya sendirian tanpa bantuan seorang suami, sedang melakukan sesuatu di depan meja dapur. Sesuatu yang dia kenal. Sesuatu seperti…

“Sushi wasabi?” pekik Hikaru gembira.

Ibu tersenyum. “Hari ini kakakmu datang berkunjung, bukan? Ibu ingin memenuhi meja makan malam ini dengan makanan favorit kalian, tapi Ibu rasa masih ada beberapa hal yang kurang.”

“Apa?”

Sigap, Ibu mengeluarkan sesuatu dari saku kanan celemek putihnya. Sebuah kertas. “Ini catatan bumbu dapur yang Ibu perlukan untuk malam ini. Ada beberapa yang tidak perlu dibeli; Ibu sudah mencoretnya. Tolong belikan sisanya di swalayan, ya?”

Hikaru tersenyum. “Beres!” Setelah mendapat dompet ibunya, Hikaru berjalan dengan semangat menuju meja makan, memakan satu sushi dengan lahap, kemudian keluar rumah menuju swalayan, tanpa menyadari sesuatu yang gelap mendekatinya…

ßy

Langkah Hikaru tidak tenang. Sejak tadi, sekitar 30 detik yang lalu ia menginjakkan kaki keluar rumahnya, ia merasa diikuti. Hatinya was-was. Baru saja ia hampir jatuh karena menginjak tali sepatunya yang lepas. Pertanda buruk, pertanda buruk! Jantungnya berdegup cepat—kakinya kaku, tidak bisa berlari! Sial. Kenapa justru di saat seburuk ini, kaki kuatnya tidak bisa diandalkan?

Hikaru berjalan secepat mungkin sebisanya, tapi rasanya langkah-langkah kecil yang mengerikan itu terus terdengar. Sial. Kenapa jalan ini begitu sepi? Tidak adakah orang yang bisa menolongnya? Hikaru benar-benar tidak bisa berhadapan dengan makhluk ini.

Oh ya, Hikaru tahu betul makhluk apa ini. Makhluk mengerikan yang tidak menyenangkan. Makhluk bermata gila dan bercakar sinting. Hikaru tahu betul makhluk apa ini. Dan sialnya, sebesar apapun pengetahuan Hikaru tentang makhluk ini, tetap saja rasa tidak senang ini—takut?—tidak bisa diusir.

Sebenarnya Hikaru merasa agak konyol juga, tapi apa daya? Tidak semua orang sempurna. Bahkan seorang aktor ternama tidak bisa membaca. Bahkan seorang penemu ternama pernah dikatai bodoh. Intinya, rasa takut ini bukan hal yang sangat jelek.

Siaaal. Jantungnya berdegup semakin kencang, keringat dingin mulai mengalir. Apa-apaan ini? Jalanan benar-benar begitu sepi! Padahal masih sore. Matahari memang sudah agak tersembunyi… Tapi tidak biasanya jalanan Tokyo sesepi ini.
Tuhan, apakah ini akhir hidupku? Aku bahkan belum pernah punya pacar…

Kemudian Hikaru menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil itu tidak terdengar lagi—artinya makhluk itu ikut berhenti. Gawat. Lalu bagaimana?

Hikaru mengambil napas dalam-dalam, lalu DASH! Berlari sekuat-kuatnya. Arah sudah tak lagi ia pedulikan, tujuan sudah ia lupakan. Sama sekali ia tidak ingat bahwa tugasnya tertulis jelas di secarik kertas yang sekarang terlipat menyedihkan di dalam kantung kaus hijau tentaranya. Yang ia tahu, ia hanya harus berlari—menghindari makhluk itu sejauh-jauhnya.

Otaknya berpikir begitu, tapi paru-parunya tidak. Ia harus berhenti. Ia harus berhenti, atau ia akan jatuh, berakhir di genggaman makhluk itu. Tidak! Tidak akan pernah ia menyerah kepada makhluk menyebalkan itu.

Maka, Hikaru memutuskan untuk bersembunyi. Tapi—di mana?

Seperti mendapat wahyu Tuhan, Hikaru menemukan sebuah gang kecil yang agak tersembunyi—gelap, tapi terlihat aman. Segera ia masukkan tubuhnya ke sana, berjongkok penuh pertahanan, napasnya tersengal-sengal.

Aman, pikirnya. Aku aman.

Seiring dengan rasa aman yang datang, turun pula gerimis. Titik-titik air yang kekanakan meluncur semangat menuju jalanan Tokyo yang penuh debu. Hikaru kebasahan, tapi ia tidak peduli. Ia tahu makhluk itu tidak suka air. Hujan selalu berarti aman.

Kan?
ßy
Tidak selalu begitu.

Belum lama ia merasa tenteram dan memiliki kesempatan untuk menangkap kembali napasnya yang hilang, ia mendengar sebuah suara.

Suara yang sangat dibencinya.

Jantungnya kembali berdegup kencang. Apa-apaan ini? Seharusnya dia benci air! Seharusnya dia benci hujan! Seharusnya dia tidak berada di sini!
Hidup Hikaru benar-benar berada di ujung tanduk.
ßy
Mengerahkan seluruh tenaga dan keberanian, Hikaru kembali menarik napas dalam-dalam, kemudian, dengan perlahan, amat perlahan, ia mengeluarkan kepalanya ke ujung gang, menoleh ke jalanan di belakang.

Kemudian dengan cepat kembali ke posisi pertahanan semula.

Ada! Matilah aku!
ßy
Dirasakan getaran dari saku celana panjangnya—ponsel! Seseorang menghubunginya. Dengan cepat diraihnya ponsel itu, membaca 3 kanji yang sangat dikenalnya.

[Yabu Kota calling…]
Klik. “Kouchan! Kamu harus menolongku… Kamu harus menolongku…”
“Hikka—eh? Ada apa? Kamu di mana?”
“Aku ada di…”

Kemudian Hikaru sadar ia tidak tahu posisinya sendiri saat ini. Hikaru mengedarkan pandangan dengan gugup, mencari suatu tanda yang dikenalnya—kemudian menemukan apa yang dicarinya. Ternyata ia berada tepat di seberang rumah Yabu.

“Aku di depan rumah kamu!”
“Hah?”
“Di gang!”
“Kamu gila? Lagi ngapain kamu di sana?”
“Tolong saja aku…”

Hikaru menutup ponselnya, memasukkannya kembali ke dalam saku celana, berharap Yabu cepat datang dan menyelamatkannya.

Kemudian, TAP.
Deg!
TAP. TAP. TAP.
Tidak. Tidak, sial!
Makhluk itu mendekatinya!
ßy
Kouchan! teriak Hikaru di dalam hati, gemetar. Berapa lama waktu yang kaubutuhkan untuk berlari dari kamarmu ke depan rumahmu sendiri sih?

Tap-tap-tap itu semakin terdengar jelas. Aneh. Padahal gerimis masih turun dengan keras kepala.

Sekali lagi, Hikaru memutuskan untuk melihat makhluk itu. Disiapkannya hatinya. Kemudian dengan hati-hati, ia menoleh ke samping…
ßy
“AAA!” Makhluk bermata gila itu berada tepat hanya 3 meter di sebelah kirinya!
Hikaru melompat, berbalik, berlari, kemudian BRUK! Menabrak sesuatu. Sesuatu yang besar. Kemudian jatuh.

Hikaru panik. Dia jatuh! Matanya tertutup! Tidak dapat dibuka! Tidak. Tidak! Inikah akhir hidupnya?

“Hikka.”
Sedikit-sedikit, matanya terbuka. Yabu. Yabu berdiri membungkuk di depannya, mengulurkan tangannya yang kurus. Hikaru menerima tawaran pertolongan dari sahabatnya, kemudian berdiri perlahan-lahan. Kemudian suara itu terdengar kembali.

Jantung Hikaru hampir berhenti. Secepat kilat ia bersembunyi di balik tubuh tinggi Yabu, memeluk erat. “Tolong akuuu~!”

Yabu hanya geleng-geleng kepala. Melepaskan diri dari cengkeraman erat Hikaru, Yabu berjalan ke depan beberapa langkah, kemudian mengibaskan tangannya kepada makhluk itu. “Hus, hus.”

Sesederhana itu, dan makhluk itu berbalik. Pergi. Kalah. Menyerah. Tamat.

Yabu berbalik, mendapati Hikaru bernapas lega—sangat lega.
“Apa sih?”
“Makasih! Aku enggak tahu harus berapa kali aku bilang ini, tapi makasih! Makasih!”
“Jangan berlebihan—aku masih enggak habis pikir kenapa sih kamu begitu takut sama binatang yang judulnya KUCING?”
ßy
Ibu Yabu menyerahkan handuk kepada anaknya dan sahabatnya, kemudian duduk di sofa di sebelah Yabu. Di seberang mereka, duduk seorang pemuda berbakat yang punya gigi dan sifat aneh. “Jadi… Tadi Hikka-kun kejar-kejaran sama kucing?”
“Yang tadi itu bukan kucing biasa!” Hikaru membela diri seraya membuka bajunya yang basah, hendak berganti dengan baju kering pinjaman dari Yabu. “Dia berdiri di bawah gerimis tanpa ragu-ragu!”
“Yeah, dan itu berarti dunia hampir kiamat.” Ejek Yabu, membuat ibunya tertawa.
“Diam! Kamu enggak dengar tadi dia mengaum?”
“Kucing itu mengeong, Hikka, bukan mengaum!”
“Lihat matanya?” Hikaru menunjuk mata kanannya sendiri. “Bersinar! Magis! Kutukan!”
“Anak SD juga tahu mata kucing akan bersinar kalau terpantul cahaya,” Yabu geleng-geleng kepala. Ibunya cekikikan.
“Terserah kalian deh,” gerutu Hikaru. “Yang jelas gara-gara kucing tadi mengejarku karena mencium aroma sushi dari tanganku, selera makanku jadi hilang.”
“Jangan berlebihan,” akhirnya Yabu ikut cekikikan bersama ibunya. “Salah sendiri enggak cuci tangan dulu.”
“Lain kali aku bakal cuci tangan,” kata Hikaru. “Lain kali aku bakal BENAR-BENAR cuci tangan.”

-FIN-

Geje ya? XD
Well that was my first fanfic of JUMP. Comment please? :D
* also available at LJUMP.

Tidak ada komentar: