Sekitar jam lima sore, aku berjalan menyusuri sebuah sungai kecil di pinggir kota dalam perjalanan pulang dari sekolah. Tak berapa jauh jaraknya dari jembatan yang biasa aku sebrangi berdiri sebuah pohon dengan gagah. Aku tidak tahu itu pohon apa, dan aku tidak pernah mempedulikannya. Aku hanya berjalan melewatinya agar segera sampai di rumah.
Namun sore ini, pohon itu memanggilku. "Adine," katanya, "kemari dan berbicaralah padaku."
Aku melihat pohon itu dengan bingung, menimbang-nimbang antara memberikan waktuku untuk berbicara padanya atau mengacuhkannya seperti biasa. Tapi hari ini bukan hari biasa. Hari ini tanggal 2 Desember, hari ulang tahunku. Karena fakta inilah, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa.
Maka aku berjalan pelan ke arahnya, sedikit melenceng dari rute pulangku. Aku menyapanya. "Selamat sore," kataku.
Pohon itu tersenyum. "Selamat sore, Adine. Selamat ulang tahun."
Aku terkejut senang. "Terima kasih! Bagaimana bisa tahu hari ini aku ulang tahun?"
"Karena hari ini kau mendengarku," jawabnya. "Duduk dan bersenderlah di batangku. Beristirahatlah sejenak."
Maka aku duduk dan bersender di batangnya. Daunnya yang rimbun menghalangi sinar matahari sore yang tersisa dari mataku, membuatku nyaman. Aku suka duduk di sini.
"Setiap hari aku memanggilmu," tutur sang pohon, "meskipun hanya ada satu waktu di mana kau benar-benar bisa mendengarku: hari ulang tahunmu."
"Mengapa begitu?" tanyaku.
Sang pohon terdiam sebentar sebelum menjawab. "Aku sebatang pohon, yang seharusnya tidak bisa berbicara dengan manusia. Tapi aku sangat suka anak manusia yang begitu riang dan bahagia, jadi aku meminta kepada Tuhan untuk bisa berbicara pada kalian. Tuhan akhirnya memberiku satu hari untuk berbicara pada kalian: hari ulang tahun kalian. Karena hari itu begitu istimewa."
Aku tersenyum puas. "Tuhan itu baik," ujarku.
"Tuhan itu baik," sang pohon setuju.
"Aku suka berbicara denganmu, pohon, tapi aku harus pulang," kataku sambil bangkit berdiri.
"Aku mengerti," ujar sang pohon.
Aku kemudian melambaikan tanganku, dan mulai berlari pulang. Sesekali aku menengok ke belakang, untuk memberitahu sang pohon bahwa aku tidak akan melupakannya.
Sejak sore itu, aku selalu tiba di rumah sepuluh menit lebih lambat dari biasanya. Rute pulangku bertambah satu: sang pohon. Setiap sore, aku akan duduk dan bersender di batang pohon itu, menceritakan padanya apa yang terjadi di sekolah hari itu.
Kami sama-sama menunggu 2 Desember tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar