Minggu, 05 Februari 2012

Easy F

"Jadi gini, ya, Na," ujar Manda tiba-tiba, setelah selesai menghabiskan minuman coklatnya dalam sekali teguk di kafe langganan kami siang ini (yang, tentu saja, pada awalnya membuatku malu--tapi setelah empat tahun bersahabat dengan cewek yang tidak dapat dibilang waras ini, well, aku sudah terbiasa dengan tatapan aneh pengunjung lain). "There is no way in hell Arief itu nggak suka sama lo."

Oh, Tuhan. Aku sudah sangat bosan dengan topik ini. Ever since she discovered 9GAG and its popular myth called "friendzone", Manda selalu mengingatkan aku untuk berhenti berdekat-dekat dengan Arief kalau aku tidak ada interest untuk berkencan dengannya. Naturally, seperti nonsense Manda lainnya, aku hanya mendengarkannya sekali, memberikan komentarku (yang by the way, bernada "Lo kan tau gue sama dia itu cuma temenan. You of all people should know kita berdua will never be together, karena lo sendiri yang selalu bilang dia sama gue itu bedanya udah kayak "Alan Rickman sama Lady Gaga", and I quote, ya, itu kata-kata lo sendiri."), kemudian kupilih untuk meng-ignore semuanya sekalian.

Manda tidak puas dengan aku yang hanya diam tanpa reaksi terhadap pernyataan mendadaknya. "Say something, bitch!"

Aku menghela napas. "First of all, Manda, cuma karena lo abis nonton ulang Easy A nggak berarti lo bisa mulai bertingkah seakan-akan lo Aly Michalka dan manggil gue bitch anytime you want, because you know full well gue bukan anjing betina. Secondly, jangan lagi urusin gue sama Arief! Kita nyaman the way we are now, dan kita cuma temenan, thank you very much. Sekarang beresin buku-buku lo, kalo nggak mau kita telat masuk kelas Kepribadian."

Manda mendengus, tapi menurut. Tanpa bicara apa-apa, dia mulai memasukkan semua buku teks dan buku tulisnya ke dalam ranselnya. Kami berjalan bersama menuju kasir, membayar makanan kami, dan mulai melangkah menuju kampus yang letaknya persis di seberang jalan. Sesampainya kami di gerbang kampus, seorang cowok yang sangat kami kenal turun dari motor biru besarnya dan bertanya, "Kelas Kepribadian di ruangan mana sih?"

Aku tertawa dengan mudah. "Rief, please deh! Lo niat kuliah nggak sih?"

Arief menyengir lebar-lebar, ciri khasnya ketika sedang bercanda. Jangan bilang siapa-siapa ya, tapi ketika ia sedang memasang muka seperti itu, ia mengingatkanku akan muka seekor anjing yang lucu yang pernah kulihat di Internet sekali. Bukannya itu sangat penting, sih. "Bareng dong ke kelasnya, gue beneran nggak tau itu di mana."

"Eh kalian duluan aja deh ke sana," ujar Manda, "gue mau ke toilet dulu. Have fun, kids!" Sebelum berlalu menjauhi kami, Manda sempat mengerling padaku, seolah-olah hendak mengatakan sesuatu. Unfortunately for you, Manda, aku sama sekali tidak mengerti apa yang mau kamu sampaikan.

"Liar," bisikku pada diriku sendiri karena tahu Manda tidak benar-benar harus pergi ke toilet. Dia itu orang yang memiliki kandung kemih paling sekuat baja yang pernah kukenal. Oh, tunggu. Jangan-jangan kerlingan matanya tadi ada apa-apanya dengan topik friendzone barusan?

"Ada apaan, tuh? Kayaknya ini baru sekalinya deh gue liat Manda actually pergi ke toilet," tanya Arief bingung, kemudian amazed sendiri dengan fakta bahwa Manda ternyata manusia normal yang butuh pergi ke toilet juga.

"Dia sengaja mau ninggalin kita berdua, kayaknya, Rief," jawabku dengan malas.

"Oh, iya? Kenapa, tuh?"

"Tanya sendiri aja. Keyword: friendzone."

Arief tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan berdiri mematung. "Maksudnya?"

Aku berhenti dan berbalik memandangnya. Melipat tangan di depan dada, aku mulai meragukan bahwa mengatakan kalimat yang barusan kukatakan adalah hal yang biasa saja dan tidak akan berdampak apa-apa. "Maksudnya," jawabku ragu, "dia pikir lo ada apa-apa sama gue. Padahal itu nggak bener banget, kan? Cewek sama cowok sahabatan itu wajar banget, lagi. Kan? Kita nggak ada apa-apa kan?"

Aku yang tadinya tenang berubah semakin gugup detik demi detik menghadapi Arief yang tidak berkata apa-apa. Oh Tuhan, jangan biarkan laki-laki bertubuh supertinggi yang ramah dan menyenangkan ini merusak persahabatan kami dengan kata-kata yang tidak ingin aku dengar. Oh Tuhan, tolong... Kembalikan waktu dan tariklah ucapanku yang barusan...

"Sebenernya, Na, tentang lo..."

Oh tidak.

"Gue..."

Jangan.

"Sebenernya... gue beneran suka sama lo, sih."

Dan persahabatan kami tamat.

Tidak ada komentar: