Senin, 13 Juni 2016

Aduy (30 Hari Menulis #13)

Picture by heise.deviantart.com
"Jadi cewek mah jangan pulang malem-malem, Neng," aku ingat perkataan Ibu yang seringkali ia ucapkan padaku, terutama setiap Kamis malam saat aku akan berangkat ke klub menulis. Ya jadi cewek di jaman patriarki gini sih emang banyak susahnya Bu, timpalku di kepalaku sendiri, tapi tidak pernah benar-benar kusampaikan pada Ibu.

"Ibu aja dulu waktu masih gadis nggak pernah pulang lebih dari jam delapan," lanjutnya malam itu, seraya mengiris bawang untuk persiapan memasak makan malam. "Dulu mah masih ada Mang Yuda, jadi kalo emang Ibu ada perlu pulang malem, Mangmu itu yang siap antar-jemput Ibu. Sayang orangnya udah nggak ada."

Gerakan mengiris bawang Ibu sempat terhenti sebentar, matanya yang menatap bawang putih dengan sayu sedikit berair. Mungkin sendu mengenang adiknya yang meninggal akibat kecelakaan motor saat aku masih balita, atau mungkin sekadar efek bawang?

Aku tidak menetapkan fokusku pada alasan mata Ibu berair bermalam-malam lalu. Perhatianku kutujukan terhadap jalanan kosong di depanku, diterangi cahaya remang-remang lampu jalan. Untunglah malam ini sang bulan sedang berbaik hati meminjamkan cahayanya dengan lebih terang dari biasanya.

Aku agak waswas. Padahal jalan ini kulalui setiap hari, hingga rasanya aku bisa saja sampai ke rumah dengan mata tertutup saking hapalnya. Ya tapi biasanya aku berjalan di sini pada pagi atau siang hari sih, ketika matahari masih menggantung di angkasa dan banyak orang lain berlalu-lalang. Ini pertama kalinya aku pulang melewati tengah malam begini.

Gara-gara terlalu asyik mengobrol usai kegiatan klub, aku jadi lupa waktu! Memang masih ada angkutan kota yang beroperasi pukul sekitar pukul ini karena tempat tinggalku dekat dengan terminal paling besar di kota ini, tapi aku sama sekali lupa bahwa hal yang sama tidak berlaku dengan ojek. Ah, aku menyesal!

Aku berjalan dengan hati-hati, langkahku besar dan cepat karena ingin segera sampai. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku. Kanan, kiri, depan, belakang. Oh ... tidak.

Dari belakangku, ada dua orang pria yang datang mendekat. Jantungku spontan berpacu empat kali lipat lebih kencang dari biasanya, keringatku dingin. Tenang, Dea, mungkin mereka memang warga di sekitar sini juga. Mungkin mereka tidak berniat jahat.

"Sendirian aja, Neng?" tanya pria yang tingginya mungkin hampir dua meter. Temannya, yang berkumis lebat, terkekeh.

Kakiku lemas, tapi aku berusaha tampak tidak acuh. Aku hanya memberi mereka sedikit anggukan dan senyuman yang sopan, kemudian kembali berjalan.

Tapi tidak bisa, karena pria berkumis lebat menarik tanganku! Aku mencoba menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar. Mampus aku! Seharusnya aku benar-benar berkonsentrasi setiap latihan karate waktu SMA dulu!

"Nggak usah buru-buru, Neng. Main dulu atuh sama kita," sang pria tinggi menyeringai.

Aku harus melakukan sesuatu! Gigit lengannya? Cakar mukanya? Tendang kemaluannya? Ah, tubuhku berkhianat. Energiku habis diserang panik. Sekarang apa yang akan terjadi?

Tiba-tiba saja, genggaman si kumis lebat melemah, kemudian dia melepaskan lenganku. Bingung, aku memperhatikan mukanya. Pucat pasi. Hal yang sama kutemukan di wajah si tinggi. Mata mereka sama-sama terbelalak melihat ke sesuatu yang berada di belakangku.

Maka aku berbalik, dan kulihatlah sosok itu. Seorang pria, mungkin berusia awal 30-an, tingginya hampir sejajar denganku, baju dan celananya putih bersih. Dia berdiri di belakangku dengan menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.

"Jangan ganggu dia," katanya. Aku merinding. Mungkin karena angin yang berhembus, tak lebih dari itu. Lagipula, tidak masuk akal perkataan seseorang dapat mempermainkan suhu udara.

Dia tidak melakukan apa-apa lagi. Ajaibnya, hanya tiga kata itu mampu membuat si tinggi dan si kumis lebat berbalik dan berlari. Kabur. Jauh, jauh, jauh dari aku dan pria ini.

Aku menatapnya tak percaya. Siapa dia, dan kenapa dia memiliki kuasa sebesar itu terhadap dua orang tadi? Haruskah aku juga takut padanya?

"Saya anterin pulang, ya," tawarnya.

Aku diam sebentar. Mungkin akal sehatku akan menghindar, tapi aku merasa nyaman dengan pria ini, jadi aku mengangguk mengiyakan. Lagipula, dia baru saja menyelamatkanku. Seharusnya tidak apa-apa, kan?"

"Makasih," bisikku. Aku tidak yakin dia bisa mendengarnya. Suara langkah kami saja mungkin lebih keras daripada ucapanku barusan. Tapi dia mengangguk, dan tersenyum padaku.

"Namanya siapa, Neng?"

"Dea," jawabku.

Kemudian, selama lima belas menit perjalanan kami menuju rumah, pria itu terus menanyakan banyak hal tentang aku dan ibuku. Di mana aku bersekolah, apa kabar ibuku, di mana ibuku bekerja sekarang. Aku sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu hingga melupakan rasa takutku akan kejadian yang kualami barusan. Lambat laun, pagar rumahku mulai terlihat.

"Udah nyampe," ujarnya saat kami menghentikan langkah tepat di depan pagar.

"Kok, bisa tau rumah aku di mana?" Heran, padahal aku belum pernah bilang padanya.

Dia menyeringai jahil. "Tau, atuh. Ngomong-ngomong, boleh saya minta tolong sesuatu?"

Aku mengangguk, mendengar permintaannya, kemudian melambaikan tanganku saat ia berbalik pergi. Aku mengunci pagar dan berjalan melintasi pekarangan rumah. Saat aku sedang mencari kunci pintu rumah, mendadak pintu itu terbuka sendiri.

Oh, Ibu. "Neng, tadi kamu ngapain diem dulu di depan pager?"

"Oh, tadi ngobrol dulu sama yang nganterin Neng," jawabku. Aku meletakkan sepatu di rak, kemudian mencium pipi Ibu.

Dahi Ibu mengernyit. "Tapi tadi nggak ada siapa-siapa selain Neng."

"Ada, ih, cowok. Mungkin pas Ibu liat Neng, dia udah pergi, kali."

Ibu menutup tirai dan mengunci pintu dengan dahi yang semakin kusut. "Masa, sih? Tadi Ibu lama lho merhatiin kamu."

"Iya ih, masa Dea bohong. Dia nitip salam tuh, buat Ibu."

"Oh iya?"

"Iya, katanya 'salam ya dari Aduy', gitu. Ibu kenal?"

Kunci yang dipegang Ibu terjatuh, mengejutkanku. Matanya berair, kemudian dengan sekejap tumpah ruah.

"Bu?" Mataku membelalak, "Ibu kenapa?" Aku segera mengusap-usap lengan Ibu, bingung akan reaksi ini.

"Aduy itu," kata Ibu di sela-sela isaknya, "nama panggilan Mang Yuda waktu kami masih kecil."

Tidak ada komentar: