Kamis, 07 Februari 2019

Pidipopop

Bentuknya bulat, warnanya ungu. Di atas tubuhnya bertabur bulatan-bulatan gelap yang berbau.

Tap, tap, tap, didengarnya suara langkah satu demi satu menghampiri dari sisi kiri.

Tanpa tangan atau kaki, dia tidak bisa lari.

Kemudian para pemilik langkah tersebut sampailah di sampingnya, menunduk, dan mulai menjulurkan lidah mereka. Satu, dua, tiga lidah tergantung layu dari mulut-mulut bertaring tajam.

Kemudian, tes.

Badannya mulai dibasahi liur tetes demi tetes seiring dengan berdansanya lidah-lidah itu pada dirinya, dalam upaya untuk meraih makanan yang entah sejak kapan tersaji di atasnya.

Lembab. Becek. Sengit.

Sang mangkok tidak memiliki mata atau kelenjar air mata, juga hati atau emosi, tapi yang ada di pikirannya sekarang adalah betapa inginnya ia kembali menjadi manusia.

Banyak hal yang tidak menyenangkan ketika dirinya menjadi manusia, itu tentu. Tapi setidaknya, dia memiliki hak untuk menentukan mulut siapa yang berhak menyentuhnya, lidah mana yang boleh merasakannya.

Setelah entah berapa lama, para anjing akhirnya berhasil menghabiskan makanan yang mereka temukan dan mulai menggerakkan keempat kaki mereka untuk mencari kudapan yang lain.

Tinggallah seorang diri, sang mangkok yang kini hampa. Aah, andaikan pidipopop tak pernah nyata...

Tidak ada komentar: