Kamis, 30 April 2020

Kembali ke Lima Tahun Lalu

Aku merasakan kejanggalan pada tubuhku ketika aku bangun pagi ini. Begitu membuka mata, butuh beberapa detik bagiku untuk sadar bahwa aku tidur di kamarku yang lama. Heran, aku melihat kanan-kiri mencari bibiku yang seharusnya menempati kamar ini. Tidak ada. Aku turun dari kasur, melangkah ke luar kamar untuk mencarinya.

Lho, ruang keluarga pun terlihat tidak biasa. Tata ruangnya kembali seperti beberapa waktu yang lalu. Suasana rumah pun terasa berbeda. Aku bingung, dari segi mana? Ini rumah yang kutinggali, kok. Kenapa rasanya asing?

Suara klak klik klak klik dari lantai dua mengalihkan perhatianku. Aku mendongak, mencoba mencari sumber suara itu dari mezzanine. Kemudian kedua mataku membelalak, mulutku menganga, dan badanku bergetar hebat. Terlihat sosok yang seharusnya tidak mungkin ada di situ.

Aku panik. Apa yang sedang terjadi? Dengan cepat, aku memindai kalender yang berada tepat di belakangku. Astaga, benar dugaanku. Aku sedang bermimpi. Kalender menunjukkan tahun 2015, bukan 2020 seperti ketika aku pergi tidur malam tadi.

Terdiam sejenak, lalu aku memberanikan diri naik tangga. "Jovan!" Kupanggil nama adikku yang sudah lama tidak keluar dari mulutku.

Dia menoleh. Jovan, di hadapanku, dengan headset yang tertempel permanen di telinganya sedang duduk di singgasana berputar warna biru. "Apa?" tanyanya, sedikit ketus. Kalau sudah main DOTA, dia tidak suka diganggu.

Aku diam sebentar, kemudian menggeleng. Dia kembali pada cintanya, sang PC. Aku terduduk di lantai tanpa suara, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Entah bagaimana, aku sedang kembali ke tahun 2015, setahun sebelum dia meninggalkan kami untuk selamanya. Kenapa?

Tapi kemudian aku menyingkirkan pertanyaan itu. Tidak begitu penting alasan dan caraku kembali ke sini. Sekarang adik bungsuku ada di hadapanku, dan aku memiliki banyak sekali hal yang ingin aku katakan kepadanya. Aku bangkit dan menghampirinya.

"Jo," panggilku lagi, kali ini meletakkan tanganku di bahunya. Ada seribu satu pikiran yang berkecamuk di kepalaku, tapi akhirnya hanya ini yang aku katakan: "Ajarin mainnyalah."

"DOTA?" tanyanya dengan bumbu tawa.

"Iya. Abis aku udah tamat main Skyrim."

Dia mengangkat bahunya sekilas, kemudian bangkit dan memberiku isyarat untuk duduk di kursi yang tadi didudukinya. Dengan gaya khas Jovan, dia mengajariku apa saja yang dia pikir perlu aku tahu pada kali pertamaku memainkan game favoritnya. Sedikit-sedikit kucerna apa yang sedang diajarkannya, kemudian kupraktekkan. Seperti dugaan kami, aku tidak pandai dalam permainan ini.

Tapi tidak apa-apa. Aku tidak mengerti kenapa dan bagaimana aku kembali ke hari ini, bertemunya lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidur nanti: apakah aku akan bangun di keesokan hari, atau kembali ke 2020 lagi? Aku tidak tahu apakah ada hal yang bisa aku lakukan untuk mengubah kenyataan - untuk tidak membiarkannya mati tahun depan. Yang aku tahu, aku merindukannya, dan jika bermain DOTA adalah satu-satunya jalan agar kami dapat melewati waktu bersama, aku akan menjadi Crystal Maiden atau Omniknight atau apalah itu asalkan aku bisa melewati waktu dengannya.

Tidak ada komentar: